Langsung ke konten utama

mini paper FAKTA PENDIDIKAN MIKRO FORMAL


FAKTA PENDIDIKAN MIKRO FORMAL

A.  Istilah Teknis
            Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa :
1.       Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.
2.       Pendidikan Formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang, terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

B.   Masalah Pokok Pendidikan
            Saat ini dunia pendidikan Indonesia, termasuk pendidikan dasar, pendidikan menegah dan pendidikan tinggi mengalami beberapa masalah yang perlu segera dibenahi. Masalah-masalah tersebut meliputi : (1) Pemerataan, (2) Mutu, (3) Relevansi, (4) Efisien, dan (5) Masih lemahnya manajemen/pengelolaan pendidikan. Keberhasilan dalam mengatasi masalah-masalah tersebut amat menentukan masa depan bangsa kita.
            Masalah pertama pendidikan Indonesia adalah kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan. Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat pendidikan dasar. Data Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Depdiknas dan Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam (Binbaga) Depag pada tahun 2000 menunjukkan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni (APM) pendidikan SMP masih rendah yaitu 54,8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan prndidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya temtu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
            Masalah kedua yang dihadapi pendidikan Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan.  Salah satu indikator rendahnya mutu pendidikan nasional salah satunya dapat dilihat dari prestasi belajar siswa. Dalam skala internasional, menurut laporan Bank Dunia (Greaney, 1992), studi IEA (International Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukkan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada tingkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD : Hongkong (75,5), Singapura (74,0), Thailand (65,1), Filipina (52,6), dan Indonesia (51,7). Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu mengasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal bentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena meraka terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan banda. Selain itu hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat (TIMSS-R) 1999 (IEA, 1999), memperlihatkan bahwa, di antara 38 negara peserta prestasi SMP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang di survey di Asia Fasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73, dan ke-75.
            Indikator lain yang menunjukkan betapa rendahnya mutu pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Indeks) yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan dan penghasilan per kepala yang menunjukkan bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 pada tahun 1996, ke-99 tahun 1997, ke-105 tahun 1998, dan ke-109 tahun 1999. Menurut survey Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indoensia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia.
            Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum, Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvey di dunia. Dan masih menurut survey dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
            Rendahnya mutu pendidikan Indonesia terkait dari kualitas guru dan pengajar yang masih rendah juga. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan Diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SMP/MTs, baru 38,8% yang berpendidikan Diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S.1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S.2 ke atas (3,48% berpendidikan S.3). Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentukeberhasilan pendidikan tetapi pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besat pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya.
            Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru. Arif Rahman (pakar pendidikan) menyatakan bahwa penghasilan sebagai guru Indonesia sangatlah rendah, bahkan tambahnya gaji guru lebih rendah dari penghasilan seorang supir. Pendapat tersebut didukung pula oleh Anwar Arifin (Wakil ketua komisi VI DPR-RI) yang menekankan perlunya peningkatan kesejahteraan guru.
            Pendapat yang agak berbeda disampaikan oleh Boediono (Kepala Balitbang Depdiknas), yang mengungkapkan bahwa dalam hal peningkatan kesejahteraan guru hendaknya jangan hanya dilihat dari satu sisi saja. Menurutnya guru itu dapat dipandang dari dua sisis yaitu sebagai buruh dan guru sebagai profesi. Katanya, ”Mengenai guru sebagai tenaga kerja, guru itu buruh, dan untuk itu memang tingkat kesejahteraannya harus dinaikkan”. Tapi masih menurutnya bahwa tidak semua orang yang menjadi guru itu hanya bermotivasi pada uang/penghahsilan saja. Ada juga orang yang menjadi guru karena sudah merupakan cita-citanya ingin menjadi guru.
            Akan tetapi, terlepas dari pandangan guru sebagai profesi seperti pendapat Boediono tadi, sebagai manusia biasa guru tentunya memerlukan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi secara layak. Apalagi pada masa krisis sekarang ini, dimana harga-harga barang melonjak tinggi. Penghasilan menjadi guru kurang untuk mencukupi kebutuhan hidup secara layak. Dan dikhawatirkan banyak anak-anak, terutama anak-anak yang pintar,  tidak mau menjadi guru. Hal ini berbahaya bagi pendidikan Indonesia di masa yang akan datang.
            Masalah ketiga dalam dunia pendidikan Indonesia adalah rendahnya tingkat relevansi pendidikan dengan kebutuhan. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukkan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMA sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu SMA (13,4%), Diploma/S0 (14,21%), dan PT (15,07%).  Menurut data Balitbang Depdiknas setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang fungsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
            Masalah keempat  yang dihadapi adalah masih rendahnya efisiensi pendidikan nasional. Rendahnya efisiensi pengelolaan pendidikan dapat dilihat dari penyebaran guru yang tidak merata, terjadinya putus sekolah di semua jenjang pendidikan, bangunan fisik gedung sekolah yang cepat rusak dalam waktu yang pendek. Jam belajar yang tidak efektif dan optimal, dan pengalokasian dana pendidikan yang tidak fleksibel.
            Masalah lain yang berkaitan dengan efisiensi aadalah masalah masih rendahnya anggaran pendidikan terhadap APBN. Sampai tahun 2000 pengalokasian anggaran pendidikan hanya sebesar 6,3% dari APBN, jauh lebih rendah dari Korea, Tahailand, Malaysia, dan Singapura yang menganggarkan tidak kurang dari 20% dari total APBN digunakan untuk pembangunan sosial serta 15% untuk pendidikan. Sementara UNESCO menyarankan agar anggaran sektor pwndidikan minimal 4% dari GDP.
            Masalah kelima adalah masih lemahnya manajemen pendidikan. Manajemen pendidikan nasional secara keseluruhan masih bersifat sentralistis sehingga kurang mendorong terjadinya demokratisasi dan desntralisasi penyelenggaraan pendidikan. Manajemen pendidikan yang sentralistis tersebut telah menyebabkan kebijakan yang seragamyang tidak dapat mengakomodasi perbedaan keragaman/kepentingan daerah/sekolah/peserta didik, mematikan partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan, serta mendorong terjadinya pemborosan dan kebocoran alokasi anggaran pendidikan.


C.  Alternatif Solusi
            Buruknya kondisi pendidikan memunculkan usulan pembaharuan atau reformasi sistem pendidikan nasional. Reformasi berarti perubahan dengan melihat keperluan masa depan, menekankan kembali pada bentuk asal, berbuat lebih baik dengan menghentikan penyimpangan-penyimpangan dan praktek yang salah atau memperkenalkan prosedur uyang lebih baik, suatu perombakan menyeluruh dari suatu sistem kehidupan dalam aspek politik, ekonomi, hukum, sosial dan tentu saja termasuk pendidikan. Reformasi juga berarti memperbaiki, membetulkan, menyempurnakan dengan membuat sesuatu yang salah menjadi benar. Oleh karena itu reformasi berimplikasi merubah sesuatu untuk menghilangkan yang tidak sempurna menjadi lebih sempurna seperti melalui perubahan kebijakan institusional.
            Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka ada beberapa hal/langkah yang dapat dilaksanakan untuk mengatasi masalah pendidikan sebagaimana diungkapkan di atas, antara lain :
1.   Peningkatan akses dan perluasan kesempatan belajar antara lain :
a.    Melanjutkan pembangunan unit sekolah baru (USB) dan ruang kelas baru (RKB) bagi daerah yang membutuhkan, khusunya di daerah pedesaan, terpencil, dan terisolasi.
  b. Melanjutkan rehabilitasi gedung sekolah yang rusak, sehingga siswa dapat menjalankan proses belajar dengan baik dan mengurangi kemungkinan anak putus sekolah serta melanjutkan program retrival untuk menarik kembali anak-anak yang putus sekolah melalui pemberian beasiswa.
c.    Memberdayakan dan meningkatkan mutu layanan melalui sekolah terbuka.
d.   Mengoptimalkan pelaksananaan pendidikan melalui pesantren salafiah.
e.    Meningkatkan mutu layanan pada sekolah-sekolah luar biasa (SLB), sekolah terpadu, dan sekolah inklusi.
f.    Melakukan konsolidasi SD kecil, SD satu guru dan SMP kecil, agar dapat lebih diberdayakan dan ditingkatkan kualitas pelayanan pendidikannya bagi warga masyarakat yang membutuhkan.
g.   Meningkatkan pelayanan pendidikan bagi anak usia sekolah 7 – 15 tahun sebagai target khusus dikdas 9 tahun, seperti anak-anak daerah terpencil dan anak-anak jalanan, dan pemberian beasiswa bagi mereka yang tidak mampu.
h.   Melanjutkan pendekatan kultural untuk mendorong anak perempuan dan anak-anak suku terasing agar mengikuti dikdas 9 tahun.
2.   Peningkatan mutu dan relevansi pendidkan, antara lain ;
a.    Melanjutkan upaya peningkatan mutu belajar mengajar, sehingga mampu memberikan pembelajaran yang bermakna bagi siswa.
b.   Melanjutkan penyempurnaan kurikulum secara bertahap menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH), serta membenahi sistem evaluasi.
c.    Melanjutkan inovasi program Bridging Course  bagi siswa baru yang mampu memperkuat bekal awal.
d.   Melanjutkan inovasi program bilingual untuk bidang MIPA, sebagai langkah meningkatkan mutu pendidikan
e.    Melanjutkan upaya untuk meningkatkan rasio Siswa : Guru, sehingga mencapai rasio yang ideal.
f.    Melanjutkan upaya peningkatan kualifikasi tenaga kependidikan, khususnya guru, sehingga memenuhi standar kualifikasi yang telah ditentukan
g.   Melanjutkan upaya peningkatan kompetensi dan profesionalisme tenaga kependidikan, khususnya guru pendidikan dasar.
h.   Melanjutkan langkah-langkah peningkatan kelengkapan dan kualitas sarana dan prasarana pendidikan yang menjadi persyaratan bagi setiap lembaga pendidikan.
i.    Melanjutkan pengadaan buku mata pelajaran yang berkualitas sehingga rasio buku dan murid mencapai  1 : 1 untuk setiap mata pelajaran.
3.   Peningkatan efisiensi manajemen pendidikan, antara lain ;
a.    Melanjutkan program konsolidasi dan revitalisasi sekolah, khusunya sekolah dasar yang berdekatan dengan jumlah siswa yang relatif kecil
b.   meningkatkan manajemen pendidikan di sekolah dan daerah dengan memperkuat dan meningkatkan kemampuan serta profesionalisme kepala sekolah dan pengelola pendidikan di tingkat kabupaten/kota.
c.    Melakukan upaya pemberdayaan dewan pendidikan di tingkat kabupaten/kota dan komite sekolah.
d.   Melanjutkan upaya pengembangan sistem informasi manajamen pendidikan (SIMP), sehingga setiap tingkatmanajemen pendidikan mampu menjadikan sumber data/informasi sebagai dasar pengambilan keputusan
4.   Peningkatan pemerataan dan mutu pendidikan
      Pilihan  strategi yang dijalankan dalam pembangunan pendidikan adalah melakukan secara bersama-sama (simultan) kebijakan pemerataan, peningkatan mutu dan relevansi, serta manajemen pendidikan, baik pada pendidikan formal maupun nonformal. Kebijakan tersebut meruapakan bagian tak terpisahkan dari kebijakan strategis nasional yang dilaksanakan secara bersama dan sinergi. Sementara itu pelaksanaan di daerah diprioritaskan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pendidikan setempat.
      Implementasi kebijakan tersebut, antara lain ; ditempuh dengan membangun USB, menambah RKB, pemberian beasiswa bagi anak-anak yang tidak mampu dan sekolah terbuka, peningkatan profesionalisme dan kualifikasi guru, penyediaan buku dan peralatan pendidikan, inklusif dan akselerasi pendidikan, serta mengembangkan kreativitas siswa melalui lomba-lomba prestasi, seperti LPIR dan olimpiade bidang studi di tingkat nasional maupun internasional.
      Berkaitan dengan strategi dan program dalam pengelolaan dana 20% APBN, Depdiknas secara bertahap telah menyiapkan kebijakan dan program pembangunan pendidikan, pemuda dan olah raga, yang diprioritaskan pada : (1) Percepatan penuntasan wajib belajar, (2) Penataan sistem manajemen, (3) Peningakatan kualitas dan relevansi, (4) Peningkatan penguasaan IPTEK dan penerapannya, (5) Peningkatan kemandirian pemuda, dan (6) Pembudayaan olahraga dini dan berkelanjutan.



D.  Kesimpulan
            Berdasarkan uraian permasalahan di atas maka disimpulkan sebagai berikut :
1.   Pendidikan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari upaya peningkatan sumber daya manusia, maka diperlukan adanya konsistensi dan konsekwensi dari seluruh unsur yang terkait sehingga tercipta generasi muda yang mampu berkompetisi dalam era globlalisasi saat ini.
2.   Pendidikan dasar sebagai fundamen dalam peningkatan mutu pendidikan diperlukan manajemen pendidikan yang tepat sehingga  akan memiliki kemampuan dalam upaya peningkatan sumber daya manusia masa yang akan datang.
3.   Guru sebagai top leader pada suatu lembaga pendidkan, maka diperlukan loyalitas yang tinggi dalam menjalankan tugasnya sehari-hari dan senantiasa memiliki komitmen yang tinggi dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.





E.   Referensi
A. Malik Fajar (2004), Rapat Kerja Materi Pendidikan Nasional dengan komisi VI DPR RI. Jakarta

Depdiknas (2006). Arah Kebijakan Pembangunan Pendidikan Indonesia Tahun 2006. Jakarta

Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (2006). Arah Pengembangan Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta. Depdiknas.

Mardiatmaja (1984). Tantangan Dunia Pendidikan. Yogyakarta : Kanisius.

Purbo Sulistyo (2006). Ada Apa Dengan Pendidikan Di Indonesia. http : // www.sartini.staff.ugm.ac.id/

Raka Joni (1981). Wawasan Pendidikan. Jakarta : Depdikbud.

Shene HG (1984). Arti Pendidikan Bagi Masa Depan. Jakarta : Pustekom Dikbud : Rajawali.

Susilo Bambang Yudoyono (2006). Peningkatan Akses Masyarakat Terhadap Pendidikan yang Berkualitas. Jakarta : Pidato Presiden RI.

Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003, Tentang  Sistem Pendidikan Nasional.

UNESCO (1990). Tresure Within. Report to UNESCO of the International Commission on Education for the Twenty-first Century. Pasis : UNESCO Publishing.











Diajukan sebagai tugas mini paper mata kuliah kurikulum dan pembelajaran
Dosen Drs.H.Asep Heryawan,M.Pd






Disusun Oleh :

Hendro Setiadi Wiguna (0805526)







JURUSAN KURIKULUM DAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN
KONSENTRASI GURU TIK
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Model-Model Pembelajaran

1.       a. Ciri-ciri model pembelajaran ·          Beberapa model tertentu ( model penelitian kelompok) dirancang untuk melatih partisipasi dalam kelompok secara demokratis; ·          Memiliki tujuan atau misi pendidikan tertentu; ·          Dirancang untuk mengembangkan proses berfikir induktif ( pada model berfikir induktif); ·          Dapat digunakan sebagai pedoman dalam memperbaiki kegiatan belajar mengajar dikelas; ·          Terdiri dari beberapa bagian (urutan langkah-langkah pembelajaran (syntax), adanya prinsip-prinsip reaksi, sistem sosial, sistem pendukung) yang dapat digunakan oleh guru seagai pedoman praktis saat melaksanakan suatu model pembelajaran; ·          Model-model yang diterapkan dalam pembelajaran akan memberikan dampak, dampak tersebut berupa dampak pembelajaran (hasil belajar yang dapat diukur) dan dampak pengiring (hasil belajar jangka panjang). b.   Empat jenis model pembelajaran berdasarkan teori 1. ` Model Interaksi Sosial, model

Makalah Knowledge Management

PENERAPAN KNOWLEDGE MANAGEMENT PADA PERUSAHAAN REASURANSI Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Tugas UAS Mata Kuliah : Knowledge Management Disusun oleh : Hendro Setiadi Wiguna 0805526 JURUSAN KURIKULUM DAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2011 KATA PENGANTAR Alhamdulilah, atas ijin dan kehendak Allah swt. Kita telah Allah ciptakan dalam wujud manusia yang memiliki kelebihan dibanding  makhluk lainnya, selain itu kitapun bersukur karena kita terlahir kedunia dijaman setelah kerosulan Nabi Muhammad SAW, sehingga kita memeluk agama yang selamat yaitu Islam, lalu kitapun harus bersyukur bahwa  Allah telah menanamkan keimanan dalam dada kita. Semoga kita senantiasa menjadi orang-orang yang bersyukur serta memperoleh kemenangan dan kebahagiaan didunia dan akhirat. Amin Salawat  dan salam semoga selamanya senantiasa tercurah limpahkan kepada panutan kita semua, Nabiyulloh Muhammad SAW, kepada keluarga,

Makalah MEMERANKAN MODUL DALAM PEMBELAJARAN INDIVIDUAL

MEMERANKAN MODUL DALAM PEMBELAJARAN INDIVIDUAL Diajukan untuk memenuhi tugas UAS mata kuliah Kapita Selekta TIK Di susun oleh : Hendro Setiadi Wiguna 0805526 JURUSAN KURIKULUM DAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 201 2 KATA PENGANTAR Alhamdulilah, atas ijin dan kehendak Allah swt. Kita telah Allah ciptakan dalam wujud manusia yang memiliki kelebihan dibanding  makhluk lainnya, selain itu kitapun bersukur karena kita terlahir kedunia dijaman setelah kerosulan Nabi Muhammad SAW, sehingga kita memeluk agama yang selamat yaitu Islam, lalu kitapun harus bersyukur bahwa  Allah telah menanamkan keimanan dalam dada kita. Semoga kita senantiasa menjadi orang-orang yang bersyukur serta memperoleh kemenangan dan kebahagiaan didunia dan akhirat. Amin Salawat  dan salam semoga selamanya senantiasa tercurahlimpahkan kepada panutan kita semua, Nabiyulloh Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat dan umat pa